“UU Tindak pidana perbankan”
Disusun oleh
Nurul Rahmah
ILMU HUKUM
SYA`RIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling pantas kita ucapkan selain rasa
syukur kepada kebesaran allah swt,atas limpahan ilmu dan rahmatnyalah sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini sebagai bagian dari tugas perkuliahan
yang paling umum dipergunakan didunia pendidikan untuk melatih dan mengajari mahasiswa
dalam membuat karya ilmiah. Salam dan
shalawat tak lupa pula kita kirimkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah
berhasil membawa umat manusia dari jalan kebodohan menuju jalan kepintaran
Penulis menyadari bahwa didalam penyajian makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan yang kami lakukan baik dari sumber referensi yang
kami ambil maupun susunan kata dan kalimatnya.
Oleh karena itu kami
sangat membutuhkan masukan dan kritikan yang membangun dari segala pihak demi
perbaikan pembuatan makalah kami selanjutnya.
Akhirnya penulis
katakan bahwa tidak ada gading yang tak retak.
Makassar, Maret
2016
Kelompok
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagaiman kita
ketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi suatu negara diperlukan adanya
pengaturan mengenai pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia secara
terarah dan terpadu serta dimanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu,
lembaga-lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan
bukan bank haruslah saling bahu-membahu dalam mengelola dan menggerakkan semua
potensi ekonomi agar berdaya guna dan berhasil guna.
Kehadiran
Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaiman telah diubah dengan
Undang-undang No.10 tahun 1998 mempunyai arti penting dalam rangka mewujudkan
suatu sistem perbankan nasional yang sehat dan stabil. Terwujudnya suatu sistem Perbankan nasional
yang sehat dan stabil itu memungkinkan dunia perbankan mampu memainkan peranan
penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peran penting
yang harus dimainkan oleh dunia perbankan nasional untuk masa sekarang dan akan
datnag adalah memosisikan diri sebagai salah satu pilar utama pembangunan
ekonomi nasional, dan mampu menjadikan agent
of development dalam mencapai tujuan nasional. Dengan perkataan lain, dunia perbankan tidak
menjadi beban dan hambatan dalam pembangunan ekonomi yang sedang berusaha untuk
dipulihkan setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997. Berkaitan dengan hal itu, peranan peraturan
perundang-undangan dibidang perbankan pun semakin penting
Menurut
Zulkarnain Sitompul, untuk menciptakan perbankan yang sehat harus dilakukan
pendekatan dengan tiga pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance, dan
disiplin pasar. Pendekatan ini harus dilakuan karena badan pengawasan tidak
akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan
teknologi pada instrumen keuangan. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan
oleh otoritas harus dilengkapi pula dengan disiplin internal bank, serta
disiplin pasar.
Dilibatkannya
internal governance dalam melakukan pengawasan karena bank merupakan tempat
terbaik untuk mengatur dan memlihara praktik manajemen bank yang sehat.
Pengikutsertaan disiplin pasar mencerminkan fakta bahwa tanpa pasar yang
kompetitif dan punitive atas kegagalan bersain di pasar, maka tidak cukup
insentif bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan
keuangan yang tepat.
B. Rumusan masalah
1.
Defenisi tindak pidana perbankan?
2.
Apa Jenis-jenis tindak pidana perbankan?
3.
Bagaimana Penanggulangan tindak pidana perbankan?
C. Tujuan
untuk memenuhi tugas Hukum pidana ekonomi selain itu
pula untuk memperluas wawasan dalam dunia perbankan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tindak pidana Perbankan.
1.
Tindak pidana
Pengertian
dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh satu peraturan hukum,
larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana,
adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang). Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukannya
(Moeljatno, 1983:63).
Berdasarkan
rumusan tindak pidana yang dirumuskan oleh Moeljatno ini tindak pidana
mengandung unsur-unsur,yaitu:
a. Perbuatan;
b. Yang
dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman
pidana (bagi yang melanggar).
Tidak pidana
tidak hanya semata sebagai gejala hukum. Para ahli hukum pun menganalisis
terhadap tindak pidana tersebut. Berbagai pengertian tindak pidana dikemukakan
yang didasarkan dari sudut mana mereka memandang, apakah dari segi sosiologis,
psikologis, atau dari segi lainnya. Ini memang hal yang wajar mengingat
keterkaitan tidak pidana dengan aspek-aspek lain merupakan keterkaitan yang
saling mendukung dan mempengaruhi.
Berdasarkan
sumbernya, maka ada 2 kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kodifikasi hukum pidana
materill. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang
terdapat di luar kodifikasi tersebut. Seperti tindak pidana perbankan yang
masuk ke dakam golongan tindak pidana khusus karena tindakm pidana perbankan
dan sanksi pidananya telah diatur tersendiri dalam UUP.
Walaupun
telah ada kodifikasi tetapi, adanya tindak pidana diluar KUHP adalah suatu
keharusan yang tidak dapat dihindari.karena perbuatan-perbuatan tertentu yang
dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus
berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.
2.
Tindak pidana Perbankan
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, kegiatan bank umum meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,, tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan utang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas
risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang
diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan
dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2. surat pengakuan hutang, dan kertas dagang
lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud;
3. kertas perbendaharaan negara, dan surat
jaminan pemerintah;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5. Obligasi;
6. surat dagang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun;
7. instrumen surat berharga lain yang
berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana
dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat,
sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran atas tagihan surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan
barang, dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah
kepada nasabah lainnya adalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di
bursa efek;
k. membeli melalui pelelangan agunan baik
semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada
bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha
kartu kredit, dan kegiatan wali amanat;
m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
n. melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua
bentuk kegiatan di atas merupakan kegiatan perbankan dalam keadaan normal atau
yang seharusnya dilakukan oleh bank.
Akan tetapi terdapat kegiatan perbankan memiliki motif tertentu sehingga
melampaui atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kegiatan semacam ini disebut tindak pidana
perbankan. Tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan dalam serangkaian
kegiatan perbankan tersebut berkaitan dengan sistem keamanan dalam menjalankan
setiap aktivitasnya. Sistem keamanan tidak
hanya menyangkut sumberdaya manusianya saja, akan tetapi juga infrastruktur
yang sampai sekarang terus berkembang.
Saat ini belum
ada satu kesepakatan dalam pemakaian istilah mengenai tindak pidana yang
perbuatannya merugikan ekonomi keuamgan yang berhubungan dengan lembaga
perbankan. Ada yang memakai istilah Tindak Pidana Perbankan, dan ada juga yang
memakai istilah Tindak Pidana di bidang perbankan, bahkan ada yang memakai
kedua-keduanya dengan mendasarkan kepada peraturan yang dilanggarnya. Berkaitan
dengan hal ini Moh Anwar (Muhamad Djumhana, 2003:454), membedakan kedua
pengertian tersebut berdasarkan kepada perbedaan perlakuan peraturan terhadap
perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang sehubungan dengan
kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa
disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara
bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah
“Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang
pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank
atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas
karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di
dalam bank atau keduanya.
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan”
dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang
mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak
pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan
sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
Dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa perbankan adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya
Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa
berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tindak kejahatan bank terhadap
bank lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian
bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang, tindak pidana
perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias melewati batas-batas
territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika,
tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama. Adapun ruang lingkup terjadinya
tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia
perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih
luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat
dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi
norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah
diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat
dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).
B. Tindak pidana di bidang perbankan
Sebagaimana
diketahui, bahwa tindak pidana dibidang perbankan merupakan salah satu bentuk
dari tindak pidana dibidang ekonomi.
Tindak pidana dibidang perbankan dilakukan dengan menggunakan bank
sebagai sarana dan sasarannya.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa bentuk tindak pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Pelanggaran
adalah sebagian dari perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang
siapa yang melakukannya. Pada dasarnya
perbuatan kejahatan diatur dalam Buku Kedua KUHPidana. Selain itu, adapula kejahatan yang diatur
dalam undang-undang diluar KUHPidana.
Dengan demikian, kejahatan adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana yang termuat dalam buku Kedua KUHpidana dan undang-undang lain
yang secara tegas menyebutkan suatu perbuatan sebagai kejahatan.
Sebagaimana
dikemukakan diatas, bahwa perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
bagi barang siapa yang melakukannya bukan semata-mata kejahatan, tetapi
meliputi juga pelanggaran. Pelanggaran
ini pada pokoknya diatur dalam Buku Ketiga KUHPidana dan Undang-undang lain
yang menyebutkan secara tegas suatu perbuatan pelanggaran. Berkaitan dengan itu, memang dalam
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan telah dinyatakan secara tegas
mengenai pembagian bentuk tindak pidana yang terdiri dari dua jenis yaitu
kejahatan dan pelanggaran.
C. Jenis-jenis tindak pidana perbankan
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tindak pidana
yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. yang dapat digolongkan
menjadi empat jenis yaitu:
a
Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia
bank
c Tindak pidana yang berkaitan dengan
pengawasan dan pembinaan
d Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha
bank.
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam
tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a.
Tindak
Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak
pidana bank gelap. Hal ini berkaitan
dalam Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan:
bahwa barang siapa menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta
denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan:
bahwa
dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh badan hukum
yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan
dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Ketentuan
ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman
terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau
pimpinannya.
b.
Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia
Bank
Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan:
barang siapa tanpa membawa perintah tertulis
atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi
untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) menyebutkan:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi,
pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A
dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)
Menurut
penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan pegawai bank dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) diatas
adalah semua pejabat dan karyawan bank.
c.
Tindak
Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan
bahwa:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai
bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2),diancam
dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun danpaling lama 2 (dua)
tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dalam
penjalasannya dikemukakan, bahwa yang dimaksud dengan “pegawai bank” dalam
Pasal 48 ayat (1) diatas adalah pejabat bank yang diberi wewenang dan tanggung
jawab untuk melaksanakan tugas operasional bank, dan karyawan yang mempunyai
akses terhadap informasi mengenai keadaan bank.
d.
Tindak
Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan
bahwa:
Anggota
Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
1) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan
palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
2) Menghilangkan atau tidak memasukkan atau
menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau
rekening suatu bank;
3) Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,
menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan,
menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.
Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai
bank yang dengan sengaja :
a) Meminta atau menerima, mengizinkan atau
menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang
atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain
dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau
dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel,
surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam
rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana
yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b) Tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang
berlaku bagi bank, Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan
bahwa:
Pihak Terafiliasi yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa:
Pemegang saham yang dengan
sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
D. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan
Selain keempat macam tindak pidana di bidang
perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang
berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam
tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana
Pasar Modal (TPPM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang ketentuan pidana (pasal
103-110). Menurut pasal 110, TPPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak
pidana, yaitu:
1. TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam
pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal 106, dan pasal 107;
2. TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur
dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan pasal 109.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana
Pasar Modal secara singkat dapat didefinisikan sebagai, segala perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pasar Modal.
Adapun peran bank dalam kegiatan pasar modal
adalah sebagai berikut:
a. Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak
yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek
serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain,
menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi
nasabahnya;
b. Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai
pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang.
Berdasarkan peranannya dalam kegiatan pasar
modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
a. Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai custodian tanpa persetujuan Bapepam;
b. Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu
menyelenggarakan usaha sebagai wali amanat yang tidak terdaftar di Bapepam.
Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan
bahwa Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin,
persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13,
Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b.
Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang (money
laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan,
menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang
kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan
korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak
pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah
tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.
Kegiatan money laundering dalam sistem
keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang
sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum,
risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan
Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena
pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti
yang dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem
perbankanmenjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering.
Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor
perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak
kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk
melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank
untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan
terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau
lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh
penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan
pencucian uang dapat berupa:
a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan
nama palsu;
b. Penyimpanan uang dalam bentuk
deposito/tabungan/ giro;
c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan
illegal;
d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan
uang yang disimpan pada
bank yang bersangkutan;
e. Penggunaan fasilitas transfer;
f. Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama
dengan oknum pejabat bank terkait;
dan pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya
kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha
bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan
keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka
penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya
mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan
antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.
E. Penanggulangan Kejahatan Perbankan
Kejahatan atau
tindak pidana merupakan perbuatan menimbulkan penderitaan, sehingga harus
dicegah atau ditanggulangi. Akan tetapi
mencegah atau menanggulangi kejahatan tidaklah mudah atau disamakan begitu saja
langkahnya untuk setiap kejahatan.
Kejahatan atau tindak pidana perbankan misalnya, tak bisa dicegah atau
ditanggulangi dengan cara-cara biasa sebagaimana tindak pidana pada umumnya.
Kejahatan atau
tindak pidana perbankan memiliki karakteristik yang khas, yang membedakan
dengan tindak pidana lain, sehingga harus dicegah dan ditanggulangi dengan
cara-cara yang khas pula. Oleh karena
keadaan yang seperti itu, maka kendala selalu muncul dalam upaya mencegah dan
menanggulangi kejahatan perbankan.
Sitompul (2009: 4) mengidentifikasi beberapa kendala dalam penanganan
tindak pidana perbankan, yaitu:
1. Belum adanya kesamaan pandang tentang
penggunaan dokumen fotokopi sebagai barang bukti dan dalam menetapkan
undang-undang atau ketentuan yang dilanggar dalam tindak pidana bank;
2. Tingkat pemahaman para penegak hukum
terhadap kegiatan/operasional perbankan yang berbeda-beda dan belum merata
serta lemahnya koordinasi dalam penanganan kasus perbankan;
3. Belum efektifnya tindak lanjut penanganan
kasus yang telah diserahkan oleh Bank Indonesia kepada penyidik;
4. Terdapat beberapa kasus yang sulit
diungkapkan modus operandinya yang antara lain disebabkan oleh pesatnya
kemajuan atau perkembangan teknologi informasi.
Tentu saja
kendala-kendala tersebut bukan hanya untuk direnungkan saja, akan tetapi perlu
dicarikan solusinya, mengingat kendala yang dikemukakan Sitompul itu berada
pada jajaran penegak hukum dari hulu sampai hilir. Dari perundang-undangan yang mestinya dibuat
fleksibel untuk menerima segala bentuk perkembangan baru dari teknologi untuk
dijadikan barang bukti sampai kepada persidangan di pengadilan yang sarat
dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketegasan Bank Indonesia dalam
memberi sanksi kepada bank yang melakukan kejahatan.
Sampai saat ini,
sebenarnya Bank Indonesia sebagai salah satu pihak yang memberikan sanksi
administrasi kepada perbankan yang melakukan tindak pidana telah melakukan
kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya dengan KPK, PPATK, Kepolisian dan
pihak-pihak lainnya, termasuk perguruan tinggi.
Kerjasama itu dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya penelitian/
pengkajian data nasabah terpadu, pertukaran informasi dan bantuan konsultasi,
bantuan personil, pelatihan dan sosialisasi, disediakannya pejabat penghubung,
dan pemeriksaan khusus bersama BI-KPK pada bank umum dalam rangka penyelamatan
keuangan negara.
Pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana dalam kerangka kebijakan kriminal dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu penal (penal policy) dan non penal (non penal
policy). Penal policy lebih ditekankan
kepada upaya represif dari penegak hukum yang didahului dengan ketersediaan
undang-undangnya. Penal policy menjadi
tugas polisi, jaksa, hakim, dan tentunya
Bank Indonesia dalam hal pelanggaran administrasi. Sedangkan non-penal policy, menjadi tugas
dari aparat penegak hukum, bank Indonesia, bank pemerintah maupun swasta dan
masyarakat.
Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan bukan sekadar terbatas pada upaya penal yang
seringkali bersifat represif, akan tetapi akan lebih efektif jika dikaitkan
langsung dengan karakteristik yang khas dari tindak pidana tersebut. Misalnya, pada tindak pidana perbankan, ciri
yang khas adalah pada perhitungan alur masuk dan keluar uang dari nasabah, dan
ilmu yang tepat untuk mengetahui kewajaran atau ketidakwajaran atas alur ini
adalah akuntansi. Penilaian yang tepat
dari ilmu ini akan mencegah secara lebih dini terjadinya tindak pidana
perbankan.
Secara spesifik,
Setiadi dan Yulia (2010: 145-146) menyebutkan bahwa dalam rangka penegakan
hukum dan pencegahan kejahatan perbankan, maka langkah-langkah yang harus
ditempuh adalah:
1. Perlunya peningkatan kemampuan penyidik
dalam bidang akunting dan keuangan;
2. Sistem pengawasan dari pihak bank yang
efektif dan ini bisa dilakukan kalau rekruitmen pegawai lebih menekankan kepada
mental idiologi;
3. Perlunya kewenangan penyidik dalam rangka
menjalankan tugasnya, bukan hanya sekadar menyangkut rahasia bank;
4. Perlunya pembaharuan perundang-undangan
dalam bidang ekonomi, in casu undang-undang perbankan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank sebagai
lembaga keuangan memiliki kedudukan yang sentral dalam pembangunan. Mengingat kedudukan yang demikian, pengawasan
dan pembinaan secara efektif dan efisien perlu dilakukan agar perbankan
Indonesia memiliki tingkat kesehatan yang baik sehingga dapat bersaing pada era
global. Kejahatan perbankan merupakan
ancaman serius terhadap tingkat kesehatan bank dan sekaligus tingkat
kepercayaan masyarakat, oleh karena itu upaya untuk mencegah dan
menanggulanginya perlu dilakukan secara dini.
Kerjasama dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan perbankan perlu
dilakukan, mengingat karakteristik yang khas pada kegiatan perbankan. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan
perbankan tak dapat diserahkan hanya kepada salah satu pihak saja dalam
penegakan hukum, sehingga bukan hanya penyebab kausatif atau simptomatik yang
terselesaikan, akan tetapi penyebab yang bersifat komprehensif dapat di atasi
secara bersama-sama.
B. Saran
Memberikan
wawasan yang lebih luas lagi mengenai tindak pidana kejahtaan kerah putih (white
collar crime) dibidang perbankan sehingga para akademisi dapat melihat
bagaimana kejahatan kerah putih (white collar crime) itu berkembang di
Indonesia. Penambahan wawasan dan pengetahuan kejahatan kerah putih (white
collar crime) di bidang perbankan tersebut dapat membantu para akademisi
untuk berpikir bagaimana cara mengatasi kejahatan tersebut sehingga dikemudian
hari pemikiran – pemikiran para akademisi untuk mengatasi kejahatan kerah putih
(white collar crime) di bidang perbanakan dapat diterapkan melalui
perubahan perundang – undanngan dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Hermansyah, Hukum
perbankan nasional indonesia, edisi ke enam, jakarta: kencana, 2011
UU No.10 Tahun 1998
tentang Undang-undang perbankan
Purwokerto, Jawa
Tengah, Indonesia, “kejahatan perbankan” http://akuntansiuntuksemua.blogspot.co.id/2011/05/kejahatan-perbankan.html