Rabu, 29 Juni 2016

Makalah Hukum pidana ekonomi (uu tindak pidana perbankan)



“UU Tindak pidana perbankan”

 Disusun oleh

Nurul Rahmah


ILMU HUKUM
SYA`RIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR

KATA PENGANTAR


            Tiada kata yang paling pantas kita ucapkan selain rasa syukur kepada kebesaran allah swt,atas limpahan ilmu dan rahmatnyalah sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini sebagai bagian dari tugas perkuliahan yang paling umum dipergunakan didunia pendidikan untuk melatih dan mengajari mahasiswa dalam membuat karya ilmiah.  Salam dan shalawat tak lupa pula kita kirimkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah berhasil membawa umat manusia dari jalan kebodohan menuju jalan kepintaran
          Penulis menyadari bahwa didalam penyajian makalah ini masih banyak terdapat kekurangan yang kami lakukan baik dari sumber referensi yang kami ambil maupun susunan kata dan kalimatnya.
Oleh karena itu kami sangat membutuhkan masukan dan kritikan yang membangun dari segala pihak demi perbaikan pembuatan makalah kami selanjutnya.
Akhirnya penulis katakan bahwa tidak ada gading yang tak retak.
Makassar,  Maret  2016                     

                                                           Kelompok






DAFTAR ISI







BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar belakang

Sebagaiman kita ketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi suatu negara diperlukan adanya pengaturan mengenai pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia secara terarah dan terpadu serta dimanfaatkan secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.  Untuk itu, lembaga-lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan bukan bank haruslah saling bahu-membahu dalam mengelola dan menggerakkan semua potensi ekonomi agar berdaya guna dan berhasil guna.  
Kehadiran Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 mempunyai arti penting dalam rangka mewujudkan suatu sistem perbankan nasional yang sehat dan stabil.  Terwujudnya suatu sistem Perbankan nasional yang sehat dan stabil itu memungkinkan dunia perbankan mampu memainkan peranan penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Peran penting yang harus dimainkan oleh dunia perbankan nasional untuk masa sekarang dan akan datnag adalah memosisikan diri sebagai salah satu pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dan mampu menjadikan agent of development dalam mencapai tujuan nasional.  Dengan perkataan lain, dunia perbankan tidak menjadi beban dan hambatan dalam pembangunan ekonomi yang sedang berusaha untuk dipulihkan setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997.  Berkaitan dengan hal itu, peranan peraturan perundang-undangan dibidang perbankan pun semakin penting
Menurut Zulkarnain Sitompul, untuk menciptakan perbankan yang sehat harus dilakukan pendekatan dengan tiga pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance, dan disiplin pasar. Pendekatan ini harus dilakuan karena badan pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrumen keuangan. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan oleh otoritas harus dilengkapi pula dengan disiplin internal bank, serta disiplin pasar.
Dilibatkannya internal governance dalam melakukan pengawasan karena bank merupakan tempat terbaik untuk mengatur dan memlihara praktik manajemen bank yang sehat. Pengikutsertaan disiplin pasar mencerminkan fakta bahwa tanpa pasar yang kompetitif dan punitive atas kegagalan bersain di pasar, maka tidak cukup insentif bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan keuangan yang tepat.

B.            Rumusan masalah

1.                   Defenisi tindak pidana perbankan?
2.                   Apa Jenis-jenis tindak pidana perbankan?
3.                   Bagaimana Penanggulangan tindak pidana perbankan?

C.           Tujuan

untuk memenuhi tugas Hukum pidana ekonomi selain itu pula untuk memperluas wawasan dalam dunia perbankan

 

 

 


 


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Tindak pidana Perbankan.

1.      Tindak pidana
Pengertian dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh satu peraturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukannya (Moeljatno, 1983:63).
 Berdasarkan rumusan tindak pidana yang dirumuskan oleh Moeljatno ini tindak pidana mengandung unsur-unsur,yaitu:
 a. Perbuatan;
 b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
 c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar).
 Tidak pidana tidak hanya semata sebagai gejala hukum. Para ahli hukum pun menganalisis terhadap tindak pidana tersebut. Berbagai pengertian tindak pidana dikemukakan yang didasarkan dari sudut mana mereka memandang, apakah dari segi sosiologis, psikologis, atau dari segi lainnya. Ini memang hal yang wajar mengingat keterkaitan tidak pidana dengan aspek-aspek lain merupakan keterkaitan yang saling mendukung dan mempengaruhi.
 Berdasarkan sumbernya, maka ada 2 kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai kodifikasi hukum pidana materill. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Seperti tindak pidana perbankan yang masuk ke dakam golongan tindak pidana khusus karena tindakm pidana perbankan dan sanksi pidananya telah diatur tersendiri dalam UUP.
 Walaupun telah ada kodifikasi tetapi, adanya tindak pidana diluar KUHP adalah suatu keharusan yang tidak dapat dihindari.karena perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.
2.      Tindak pidana Perbankan
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kegiatan bank umum meliputi:
a.      menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b.      memberikan kredit;
c.       menerbitkan surat pengakuan utang;
d.      membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1.      surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2.      surat pengakuan hutang, dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3.      kertas perbendaharaan negara, dan surat jaminan pemerintah;
4.      Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5.      Obligasi;
6.      surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7.      instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
e.      memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
f.        menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g.      menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h.      menyediakan tempat untuk menyimpan barang, dan surat berharga;
i.        melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
j.        melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya adalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k.       membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l.        melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat;
m.    menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
n.      melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua bentuk kegiatan di atas merupakan kegiatan perbankan dalam keadaan normal atau yang seharusnya dilakukan oleh bank.  Akan tetapi terdapat kegiatan perbankan memiliki motif tertentu sehingga melampaui atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.  Kegiatan semacam ini disebut tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan dalam serangkaian kegiatan perbankan tersebut berkaitan dengan sistem keamanan dalam menjalankan setiap aktivitasnya.  Sistem keamanan tidak hanya menyangkut sumberdaya manusianya saja, akan tetapi juga infrastruktur yang sampai sekarang terus berkembang.
Saat ini belum ada satu kesepakatan dalam pemakaian istilah mengenai tindak pidana yang perbuatannya merugikan ekonomi keuamgan yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Ada yang memakai istilah Tindak Pidana Perbankan, dan ada juga yang memakai istilah Tindak Pidana di bidang perbankan, bahkan ada yang memakai kedua-keduanya dengan mendasarkan kepada peraturan yang dilanggarnya. Berkaitan dengan hal ini Moh Anwar (Muhamad Djumhana, 2003:454), membedakan kedua pengertian tersebut berdasarkan kepada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank.
 Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.
 Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya
 Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tindak kejahatan bank terhadap bank lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun dimensi ruang, tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias melewati batas-batas territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika, tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama. Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang dapat dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).

B.       Tindak pidana di bidang perbankan

Sebagaimana diketahui, bahwa tindak pidana dibidang perbankan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana dibidang ekonomi.  Tindak pidana dibidang perbankan dilakukan dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasarannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk tindak pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran.  Pelanggaran adalah sebagian dari perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melakukannya.  Pada dasarnya perbuatan kejahatan diatur dalam Buku Kedua KUHPidana.  Selain itu, adapula kejahatan yang diatur dalam undang-undang diluar KUHPidana.  Dengan demikian, kejahatan adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang termuat dalam buku Kedua KUHpidana dan undang-undang lain yang secara tegas menyebutkan suatu perbuatan sebagai kejahatan. 
Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melakukannya bukan semata-mata kejahatan, tetapi meliputi juga pelanggaran.  Pelanggaran ini pada pokoknya diatur dalam Buku Ketiga KUHPidana dan Undang-undang lain yang menyebutkan secara tegas suatu perbuatan pelanggaran.  Berkaitan dengan itu, memang dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan telah dinyatakan secara tegas mengenai pembagian bentuk tindak pidana yang terdiri dari dua jenis yaitu kejahatan dan pelanggaran. 

C.      Jenis-jenis tindak pidana perbankan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. yang dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
a Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
 b Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
 c Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
 d Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
 Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a.              Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
 Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Hal ini berkaitan  dalam Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan:
 bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
 Ketentuan ayat (2) menyebutkan:
 bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Ketentuan ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
b.               Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
 Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan:
 barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
 Ayat (2)  menyebutkan:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
 Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
Menurut penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan pegawai bank  dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) diatas adalah semua pejabat dan karyawan bank.
c.              Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
 Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa:
 Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
 Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa:
 Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2),diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun danpaling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Dalam penjalasannya dikemukakan, bahwa yang dimaksud dengan “pegawai bank” dalam Pasal 48 ayat (1) diatas adalah pejabat bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional bank, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan bank.
d.               Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
 Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa:
 Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
 1) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
 2) Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
 3) Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.
 Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
 Pasal 49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa:
 Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
 a) Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
 b) Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku bagi bank, Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
 Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa:
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
 Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa:
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

D.      Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan


 Selain keempat macam tindak pidana di bidang perbankan yang telah disebutkan diatas sebenarnya ada tindak pidana lain yang berkaitan sangat erat dengan kegiatan perbankan yaitu:
 a. Tindak Pidana Pasar Modal
 b. Tindak Pidana Pencucian Uang
 Adapun untuk lebih jelasnya maka keempat macam tindak pidana di bidang perbankan ini akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Pasar Modal
 Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana Pasar Modal (TPPM) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang ketentuan pidana (pasal 103-110). Menurut pasal 110, TPPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak pidana, yaitu:
 1. TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal 106, dan pasal 107;
 2. TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan pasal 109.
 Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana Pasar Modal secara singkat dapat didefinisikan sebagai, segala perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pasar Modal.
 Adapun peran bank dalam kegiatan pasar modal adalah sebagai berikut:
 a. Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya;
 b. Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang.
 Berdasarkan peranannya dalam kegiatan pasar modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
 a. Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai custodian tanpa persetujuan Bapepam;
 b. Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan usaha sebagai wali amanat yang tidak terdaftar di Bapepam.
 Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Tindak Pidana Pencucian Uang
 Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilegal.
 Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem perbankanmenjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
 Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
 a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu;
 b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
 c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
 d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada
     bank yang bersangkutan;
 e. Penggunaan fasilitas transfer;
 f. Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama dengan oknum pejabat        bank terkait; dan pendirian/pemanfaatan bank gelap.
 Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan membutuhkan pengelolaan keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank.

 

E.     Penanggulangan Kejahatan Perbankan


Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan menimbulkan penderitaan, sehingga harus dicegah atau ditanggulangi.  Akan tetapi mencegah atau menanggulangi kejahatan tidaklah mudah atau disamakan begitu saja langkahnya untuk setiap kejahatan.  Kejahatan atau tindak pidana perbankan misalnya, tak bisa dicegah atau ditanggulangi dengan cara-cara biasa sebagaimana tindak pidana pada umumnya.
Kejahatan atau tindak pidana perbankan memiliki karakteristik yang khas, yang membedakan dengan tindak pidana lain, sehingga harus dicegah dan ditanggulangi dengan cara-cara yang khas pula.  Oleh karena keadaan yang seperti itu, maka kendala selalu muncul dalam upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan perbankan.  Sitompul (2009: 4) mengidentifikasi beberapa kendala dalam penanganan tindak pidana perbankan, yaitu:
1.   Belum adanya kesamaan pandang tentang penggunaan dokumen fotokopi sebagai barang bukti dan dalam menetapkan undang-undang atau ketentuan yang dilanggar dalam tindak pidana bank;
2.   Tingkat pemahaman para penegak hukum terhadap kegiatan/operasional perbankan yang berbeda-beda dan belum merata serta lemahnya koordinasi dalam penanganan kasus perbankan;
3.   Belum efektifnya tindak lanjut penanganan kasus yang telah diserahkan oleh Bank Indonesia kepada penyidik;
4.   Terdapat beberapa kasus yang sulit diungkapkan modus operandinya yang antara lain disebabkan oleh pesatnya kemajuan atau perkembangan teknologi informasi.
Tentu saja kendala-kendala tersebut bukan hanya untuk direnungkan saja, akan tetapi perlu dicarikan solusinya, mengingat kendala yang dikemukakan Sitompul itu berada pada jajaran penegak hukum dari hulu sampai hilir.  Dari perundang-undangan yang mestinya dibuat fleksibel untuk menerima segala bentuk perkembangan baru dari teknologi untuk dijadikan barang bukti sampai kepada persidangan di pengadilan yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketegasan Bank Indonesia dalam memberi sanksi kepada bank yang melakukan kejahatan.
Sampai saat ini, sebenarnya Bank Indonesia sebagai salah satu pihak yang memberikan sanksi administrasi kepada perbankan yang melakukan tindak pidana telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya dengan KPK, PPATK, Kepolisian dan pihak-pihak lainnya, termasuk perguruan tinggi.  Kerjasama itu dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya penelitian/ pengkajian data nasabah terpadu, pertukaran informasi dan bantuan konsultasi, bantuan personil, pelatihan dan sosialisasi, disediakannya pejabat penghubung, dan pemeriksaan khusus bersama BI-KPK pada bank umum dalam rangka penyelamatan keuangan negara.
Pencegahan dan penanggulangan tindak pidana dalam kerangka kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penal (penal policy) dan non penal (non penal policy).  Penal policy lebih ditekankan kepada upaya represif dari penegak hukum yang didahului dengan ketersediaan undang-undangnya.  Penal policy menjadi tugas polisi, jaksa,  hakim, dan tentunya Bank Indonesia dalam hal pelanggaran administrasi.  Sedangkan non-penal policy, menjadi tugas dari aparat penegak hukum, bank Indonesia, bank pemerintah maupun swasta dan masyarakat.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan sekadar terbatas pada upaya penal yang seringkali bersifat represif, akan tetapi akan lebih efektif jika dikaitkan langsung dengan karakteristik yang khas dari tindak pidana tersebut.  Misalnya, pada tindak pidana perbankan, ciri yang khas adalah pada perhitungan alur masuk dan keluar uang dari nasabah, dan ilmu yang tepat untuk mengetahui kewajaran atau ketidakwajaran atas alur ini adalah akuntansi.  Penilaian yang tepat dari ilmu ini akan mencegah secara lebih dini terjadinya tindak pidana perbankan.
Secara spesifik, Setiadi dan Yulia (2010: 145-146) menyebutkan bahwa dalam rangka penegakan hukum dan pencegahan kejahatan perbankan, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
1.   Perlunya peningkatan kemampuan penyidik dalam bidang akunting dan keuangan;
2.   Sistem pengawasan dari pihak bank yang efektif dan ini bisa dilakukan kalau rekruitmen pegawai lebih menekankan kepada mental idiologi;
3.   Perlunya kewenangan penyidik dalam rangka menjalankan tugasnya, bukan hanya sekadar menyangkut rahasia bank;
4.   Perlunya pembaharuan perundang-undangan dalam bidang ekonomi, in casu undang-undang perbankan




BAB III  

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Bank sebagai lembaga keuangan memiliki kedudukan yang sentral dalam pembangunan.  Mengingat kedudukan yang demikian, pengawasan dan pembinaan secara efektif dan efisien perlu dilakukan agar perbankan Indonesia memiliki tingkat kesehatan yang baik sehingga dapat bersaing pada era global.  Kejahatan perbankan merupakan ancaman serius terhadap tingkat kesehatan bank dan sekaligus tingkat kepercayaan masyarakat, oleh karena itu upaya untuk mencegah dan menanggulanginya perlu dilakukan secara dini.  Kerjasama dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan perbankan perlu dilakukan, mengingat karakteristik yang khas pada kegiatan perbankan.  Pencegahan dan penanggulangan kejahatan perbankan tak dapat diserahkan hanya kepada salah satu pihak saja dalam penegakan hukum, sehingga bukan hanya penyebab kausatif atau simptomatik yang terselesaikan, akan tetapi penyebab yang bersifat komprehensif dapat di atasi secara bersama-sama.

B.      Saran

Memberikan wawasan yang lebih luas lagi mengenai tindak pidana kejahtaan kerah putih (white collar crime) dibidang perbankan sehingga para akademisi dapat melihat bagaimana kejahatan kerah putih (white collar crime) itu berkembang di Indonesia. Penambahan wawasan dan pengetahuan kejahatan kerah putih (white collar crime) di bidang perbankan tersebut dapat membantu para akademisi untuk berpikir bagaimana cara mengatasi kejahatan tersebut sehingga dikemudian hari pemikiran – pemikiran para akademisi untuk mengatasi kejahatan kerah putih (white collar crime) di bidang perbanakan dapat diterapkan melalui perubahan perundang – undanngan dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA


Hermansyah, Hukum perbankan nasional indonesia, edisi ke enam, jakarta: kencana, 2011
UU No.10 Tahun 1998 tentang Undang-undang perbankan
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia, “kejahatan perbankan” http://akuntansiuntuksemua.blogspot.co.id/2011/05/kejahatan-perbankan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar